PROF. RADJA PINGKIR SIDABUTAR

Dokter yang suka berangan-angan

Belajar Ginjal Di Negeri Belanda

Sosok astronom mengkristal dalam angan-angan Prof. Dr. Radja Pingkir Sidabutar. Setelah lulus SMA Kanisius, Jakarta 1954, anak pertama dari empat bersaudara ini, justru berangan-angan menjadi astronom/ahli perbintangan. Bukan menjadi seorang dokter, profesi yang kini digelutinya. Karena itulah, ketika remaja, beliau berniat belajar ilmu perbintangan. Waktu itu, lulusan ilmu perbintangan masih sangat langka, kenang Prof. Sidabutar.

Bukan apa-apa. Pada masa itu, memang Amerika Serikat lagi gencar dengan program antariksawannya. Begitu pula dengan Uni Soviet (CIS). Kedua Negara itu berseteru untuk membuktikan siapa diantara mereka yang berhasil mendaratkan astronotnya ke bulan. Barangkali, berkat informasi inilah yang membuat remaja Sidabutar berniat menjadi astronom. Meskipun sebenarnya pada dasawarsa 1950-an profesi idola anak remaja adalah dokter, guru, dan insinyur.



Ketika Sidabutar Berkonsultasi dengan ibunya, Rustina L.H. br.Siahaan, justru oleh ibunya remaja Sidabutar dianggap terlalu berangan-angan. Karena belum bisa memutuskan pilihannya, Sidabutar kelahiran Balige, Tapanuli 18 Oktober 1935 itu lalu berkonsultasi dengan kepala sekolahnya. Kata beliau, kalau saya memilih kedokteran, saya pasti berhasil, kenangnya mengutip kata-kata kepala sekolahnya.

Bersama 600 orang pelamar lainnya, pada tahun 1954, remaja Sidabutar ikut ujian masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Jakarta. Anak dari Wismar Sidabutar, pegawai pada Departemen Kehakiman ini termasuk yang lulus. Ketika itu, jumlah kursi sedikit. Kalau ingin dapat tempat duduk waktu kuliah, maka, Jam setengah lima kita harus sudah di sana. Ketika itu, suasana kuliah masih enak. Hubungan dosen dan mahasiswa cukup baik. Orang tua tidak perlu terlalu banyak mengeluarkan uang. Jumlah siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi masih sedikit. Banyak sekali tawaran beasiswa dari pemerintah, dengan kewajiban mengikuti ikatan dinas. Setahun kemudian saya dapat ikatan dinas. Rapel (beasiswa) keluar setiap tahun. Rapel pertama, kita ramai-ramai beli jas, ujarnya, mengenang masa kuliah dulu.

Setelah lulus FK-UI, 1961, kembali Sidabutar dihadapkan pada pilihan. Dasar pilihan untuk menentukan bidang spesialisasi memang, dokter yang bertubuh pendek ini suka berangan-angan. Akhirnya ia memilih spesialis penyakit dalam. Karena di spesialis ini, Banyak teori dan penalaran, ujarnya. Ketika itu, yang paling popular adalah ahli bedah. Tetapi , yang paling diminati, ahli jantung dan ahli paru-paru. Saya sendiri kemudian memilih mendalami Ilmu Penyakit Dalam, ginjal dan tekanan darah tinggi.

Setelah mengikuti pendidikan spesialis penyakit dalam selama empat tahun di FK-UI, ia lulus pada tahun 1965. Ketua Perhimpunan Transplantasi Indonesia (PERTRANSI) ini mulai menyenagi masalah ginjal dan darah tinggi. Beliau menjajaki pakar-pakar ginjal dan pakar darah tinggi (hypertensi), rumah sakit tempat pakar-pakar itu bertugas, termasuk perguruan tingginya. Beliau melirik pakar ginjal Australia, Belanda, Inggris, Jerman Barat, Amerika, Jepang dan sebagainya. Setiap ada rekanan yang bertandang ke negeri itu, Sidabutar tidak lupa menitipkan surat untuk disampaikan kepada pakar ginjal di negeri itu. Kepercayaan dirinya untuk mendalami penyakit ginjal semakin kental. Setelah menghadapi banyak kasus di negerinya dan melihat perkembanhan di luar negeri, dan ditambah dukungan oleh Prof.Dr. Utoyo Sukanto salah seorang seniornya semangat Sidabutar pun kembali menyala-nyala. Beliau itu sangat terbuka dan dengan gembira menandatangani surat saya (sebagai referensi) yang akan saya kirimkan ke pakar ginjal di luar negeri.

Bukan hanya melalui surat, Sidabutar pun terbang langsung ke luar negeri. Saat itu ia mendapat kemudahan dan dukungan dari pamannya yang bekerja di Garuda Indonesia. Sudah menjadi kebijakan Garuda, setiap karyawannya mendapat jatah tiket gratis. Sebagai anggota keluarga pamannya, Prof. Sidabutar menggunakan jatah tiket gratis itu untuk bertandang ke luar negeri. Akhirnya, ayah tiga anak, yang menikah dengan Roswita br.Simanjuntak tahun 1964, bisa mengikuti pendidikan singkat tentang ginjal di Universitas Leiden, Belanda. Disana, orang Batak ini dianganggap sebagai adik oleh Prof.J de Graeff, yang punya perhatian besar tentang Indonesia. Prof.J de Graeff adalah putra Gubernur Jendral de Graeff.

Tetapi, secara formal, justru ia mengikuti pendidikan superspesialis (kini spesialis II) ginjal di FK-UI. Yang, menarik, justru ia sendiri yang menandatangani ijazahnya. Aneh, tapi begitulah kenyataannya, tutur Sidabutar. Sebab, Waktu itu, kalau ada yang bilang saya ahli ginjal, tidak ada yang keberatan, tambahnya. Namun, ia mesti berjuang agar diakui oleh himpunan profesi. Dan, perjuanan itu tidak terlalu sulit. Kini, orang Batak yang bertubuh pendek itu, bahkan sudah meraih guru besar. Sekarang, ada 50-an ahli ginjal bertebaran di Indonesia.

Ginjal, yang kerap dikenal sebagai buah pinggang, adalah alat tubuh yang berbentuk kacang merah. Jumlahnya dua buah, terletak di rongga belakang perut, sebelah kiri dan kanan tulang belakang. Fungsinya mengeluarkan bahan-bahan beracun dan sampah yang tidak terpakai lagi dan menghisap kembali bahan yang masih diperlukan. Sehingga, buah pinggang memproduksi berbagai hormone. Itulah sebabnya, kalau orang yang menderita gagal ginjal, buah pinggangnya tidak berfungsi lagi, darahnya akan keracunan. Kalau tidak dilakukan pencucian darah, maka pasien akan meninggal.


Cangkok Ginjal 

Ginjal merupakan organ tubuh yang unik. Dengan hanya satu ginjal, orang masih bisa hidup. Seandainya, kedua ginjal pasien sudah tidak berfungsi lagi sebagai penyaring dan pencuci darah, orang masih bisa bertahan hidup. Seorang ahli Ginjal bisa membantu memulai proses Hemodialisis (pencucian darah) atau dialysis mandiri berkesinambungan, suatu pencucian melalui rongga perut yang dilakukan sendiri oleh pasien di rumah agar bahan-bahan beracun tidak mendekam di dalam darah. Inilah bedanya dengan ahli hati atau jantung. Kalau jantungnya beberapa menit saja berhenti, bukan mustahil manusia itu bisa menemui ajalnya. 

Bukan hanya berkemampuan membantu mencuci darah ahli ginjal juga bisa mencangkok ginjal dari donor. Tentu, pencangkokan itu bertujuan untuk menggantikan fungsi ginjal pasien, yang sudah aus. 

Setelah bergelut dengan tantangan kekurangan sarana, kendala dari sudut budaya dan agama, tahun 1977 untuk pertama kalinya beliau bersama sejawatnya berhasil mencangkokkan ginjal. Hingga kini, dengan dukungan peralatan yang memadai dan ahli lainnya, anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini telah berhasil mencangkokkan lebih dari 100-an ginjal. 

Agar pencangkokkan ginjal dapat berkembang di suatu Negara, maka sumber donor ginjal perlu dimanfaatkan. Untuk dapat mencapai hal ini dibutuhkan dukungan dan partisipasi dari masyarakat. Pandangan dari segi budaya, adat-istiadat dan pandangan agama merupakan kendala utama yang harus mendapat perhatian. Dewasa ini tidak jarang orang ingin menjadi donor, tetapi tujuannya adalah untuk mendapatkan imbalan atas ginjal yang disumbangkannya. Menurut Sidabutar, secara etis, menyumbangkan ginjal secara sukarela kepada yang memerlukan, tentu tidak menjadi masalah. Yang saya protes, negosiasi jual-beli ginjal. Itu, saya tidak setuju, kata Prof.Sidabutar. 

Masalahnya, menurut Sidabutar, kalau orang normal, pasti ada take and give. Ada budi, pasti ada balasannya. Nah, dalam konteks ini, kata Sidabutar, ada suatu penyumbang gijal yang tidak mau mendapat bayaran. Ia menyumbangkan secara sukarela. Tetapi, suatu ketika, penyumbang ginjal ini kesulitan uang untuk membayar uang sekolah anaknya. Nah, Saya sebagai orang yang tertolong dan sudah disumbangi ginjal, dan saya punya uang, saya tolong dia. Nah, kalau cara seperti ini menurut saya, bukan jual beli, tutur Sidabutar. Oleh karena itu, menurut Sidabutar, masalah imbalan ada batasannya. Kalau sejak awal, donor dan penerima ginjal sudah negosiasi tentang imbalannya, maka hal inilah, yang tidak disukainya.

Pelayanan Kesehatan 
Dokter adalah manusia. Sebagai menusia tentu dokter juga tidak pernah lepas dari kekurangan. Karena itu, dokter perlu terus mengembangkan dirinya. Kalau pengetahuannya terus bertambah, menurut Sidabutar, maka kita semakin sedikit menemukan kasus-kasus malpraktik. Tuntutan masyarakat dewasa ini bukan saja mengenai pelayanan medis yang baik, tetapi juga pelayanan nonmedis yang makin meningkat. 

Ada pasien yang memprotes karena diberi handuk putih yang tidak sama tebalnya dengan handuk putih-putih yang tebal-tebal. tutur Sidabutar. Akibatnya, seringkali para susternya kena semprot pasien. Sebaliknya, ada suster yang balik kesal. Sebab, Suster merasa sudah memberi handuk putih yang baik,cerita, Prof.Sidabutar. Nah, pada kondisi ini, timbullah protes dari pasiennya. Bahkan, karena masalah seperti itu, justru pasien menganggap pelayanan medis kurang baik. Masalah yang sebenarnya adalah ukuran atau nama yang berbeda. Padahal menurut Sidabutar, dokter itu dididik tidak hanya untuk orang-orang yang berkantong tebal saja. Tetapi juga untuk pasien-pasien yang berkantong tipis. Soalnya, kita tahu penyakit itu bisa menghinggapi siapa saja. Orang kaya atau orang miskin. Itulah sebabnya, menurut Sidabutar, dokter tidak bisa jadi pengusaha. Sebab, sejak kita sekolah, kita hanya diajarkan masalah-masalah yang erat kaitannya dengan orang yang menderita, tuturnya. Kecuali, memang, bagi dokter, yang begitu lulus, tidak menekuni profesi kedokteran. 

Dewasa ini, seorang dokter yang baru lulus, diwajibkan mengabdi di puskesmas (Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat) dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya, untuk pemerataan pelayanan kesehatan. Kalau dilihat dari segi kepentingan nasional, ini suatu hal yang positif. Karena kita mau meratakan dan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan sampai ke pelosok-pelosok, tutur Sidabutar. 

Namun, kalau ditinjau dari segi individu dokternya, kewajiban itu jelas dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia. Tetapi, menurut Sidabutar setiap calon dokter, tentunya sudah mempertimbangkan hal-hal tersebut sebelum memutuskan untuk kuliah di fakultas kedokteran. Saya rasa, setiap dokter, sebelum dia memilih masuk fakultas kedokteran, sudah mempertimbangkan itu. Dia sudah mencoba menyesuaikan diri, bahwa suatu ketika ia mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri untuk kepentingan masyarakat tuturnya. 

Tetapi, bagi Sidabutar, bekerja di Puskesmas itu cukup menarik. Bukan hanya tantangan bekerja di Puskesmas atau bukan hanya individu si pasien yang kita lihat, tetapi juga lingkungan masyarakat di sana. Misalnya, kalau kita ingin memberikan nasihat tentang rehabilitasi penderita penyakit, kita harus meninjau aspek lingkungan keluarga, seperti anak, istri, saudara-saudara dan sebagainya. Kalau membuat pekerjaan di Puskesmas, batasan-batasan dari tindakan kita, mesti melihat kepentingan yang lebih besar, tutur Sidabutar. Sedangkan, di rumah sakit, Kita hanya behadapan dengan individu. 

Namun kita juga harus berbangga hati bahwa cukup banyak dokter yang senang bila diterjunkan ke Puskesmas. Sebab, mereka itu berhadapan dengan individu pasiennya.karena kita tidak perlu heran dan berprasangka aneh bahwa masih merasa betah dengan daerah dan masyarakatnya, karena merasa sudah tertarik dengan pekerjaan dan lingkungannya. Bekerja di Puskesmas itu bukan hanya pengorbanan saja, tutur Prof. Sidabutar. 

Masalah lain dalam pelayanan medis antara lain adalah, menyangkut perubahan pola penyakit. Semula, dikalangan masyarakat Indonesia, banyak di temukan penyakit infeksi yang di sebabkan oleh pelbagai jenis jasad renik. Kini, mulai bermunculan penyakit yang disebabkan oleh perubahan pola konsumsi sebagai akibat tumbuhnya kelas menengah baru. Seperti penyakit kanker, jantung dan sebagainya. Akibatnya, secara bertahap terjadi pergeseran dalam pola pelayanan kesehatan. Dokter perlu mengadakan penyesuaian untuk menghadapi masyarakat menengah ke atas, yang banyak sekali perbedaan pola penyakitnya dan tuntutannya, ujar Sidabutar. 

Di lain pihak, terjadi perubahan teknologi kedokteran yang demikian cepat. Untuk itu, menurut Sidabutar, kita perlu menyaring dan mengadaptasi dulu setiap teknologi apakah cocok untuk kondisi masyarakat kita. Kalau tidak, Nanti alat-alat kedokteran itu hanya bisa dimanfaatkan oleh segelintir orang, tuturnya. Sebab, kini, dengan menggunakan alat-alat canggih dalam pelayanan kesehatan, seringkali mendongkrak biaya pengobatan. Keadaan inilah yang menyebabkan ketika ditemukan gelombang kejut sebagai pemecah batu ginjal, beliau tidak buru-buru menggunakannya. 

Selain itu, penggunaan alat-alat kedokteran berteknologi canggih itu memerlukan proses adaptasi yang lama dengan kondisi mesyarakat Indonesia. Jadi setiap teknologi yang masuk, perlu disaring dan disesuaikan dengan kondisi kita. Harus dilihat prioritasnya demi kepentingan orang banyak. Saya rasa demikian untuk masa mendatang, Tutur Prof. Sidabutar.

Keorganisasian 

Di samping menjalankan profesinya, penggemar sepak bola, music, fotografi dan lari pagi ini, benyak menggeluti bidang organisasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Prof. Sidabutar tercatat sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia, Perkumpulan Gawat Darurat Indonesia, Perhimpunan Transplantasi Indonesia, Perhimpunan Nefrologi Indonesia dan lain-lain. Pada tingkat internasional, Prof. Sidabutar yang hingga tahun 1991 sudah menulis lebih dari pada 150 makalah ini, antara lain tercatat sebagai anggota International Society of Transplantation, International Society of Hypertension, Asia Society for Transplantation dan International Society of Hypertension. 

Selain itu, guru besar yang berambut agak ikal ini berkecimpung juga dalam sejumlah yayasan. Antara lain Yayasan Pengembangan Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Yayasan Giatri Indonesia, Yayasan Kesehatan PGI Cikini, Yayasan Medigrow, Yayasan Bina Nefrologi dan Yayasan Ginjal Jakarta. 

Bagaimana penilaiannnya terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Menurut Prof. Sidabutar, IDI belakangan ini sangat progresif, aktif dan berani. IDI tidak hanya menegur ke dalam, memperbaiki ke dalam, mengoreksi ke dalam, tetapi juga melindungi. Selain itu, pemikiran-pemikiran IDI sangat progresif dalam mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapi. IDI berani mengemukakan pendapatnya dengan tegar.

Sejarah Keluarga 

Masa kecil Sidabutar, di habiskan di kota kelahirannya, Balige, Tapanuli. Ketika berumur sebelas tahun, tentara datang memasuki kota itu. Prof. Sidabutar kecil tidak bisa pulang dari sekolah. Bahkan ia mesti ikut naik ke gunung. Selama dua hari dua malam, Sidabutar kecil mesti lari ikut rakyat untuk menghidar dari tentara Belanda. Teman-teman sekelas tidak bisa pulang ke rumah. 

Setahun setelah ia menamatkan sekolah dasar, pada tahun 1948, melalui Singapura Sidabutar merantau ke Jakarta. Ia sempat tinggal sebentar bersama keluarga di Bogor, lalu pada tahun yang sama, anak pasangan Wismar Sidabutar dan Rustina L.H. br. Siahaan ini masuk SMP Kristen Jakarta. Tentunya, ia pindah dan tinggal lagi di Jakarta bersama orangtuanya. Rumah orangtua saya dulu seperti asrama. Banyak orang yang numpang tinggal di rumah kami, katanya. 

Ada keanehan ketika beliau sekolah di SMP. Waktu pertama saya datang, saya tidak pakai sepatu sekolah. Saya ditertawakan karena memakai sepatu tenis. Mereka anggap itu suatu keanehan, karena sepatu tenis dipakai untuk sekolah, kenang Prof.Sidabutar. Waktu itu saya tidak mengerti, mengapa saya ditertawakan, tambahnya. Ternyata, memakai sepatu tenis untuk bersekolah, ketika itu masih dianggap aneh. 

Lulus SMP Kristen tahun 1951, terus melanjutkan ke SMA Kanisius di kawasan Menteng Raya, Jakarta. Sebagai orang yang berasal dari kampong, Prof. Sidabutar mesti belajar keras, agar bisa beradaptasi dengan teman-temannya yang pintar-pintar. Dan lagipula, prestasi adalah segala-galanya. Prestasi itu dihargai sekali. Guru-guru akan sangat menghargai kalau kita berprestasi. Iklimnya saat itu adalah iklim berprestasi, kenang Prof. Sidabutar.  

Bukan hanya prestasi di bidang ilmu alam, misalnya, tetapi juga di bidang olahraga dan kesenian. Saya anggap, selama saya di SMA Kanisius adalah merupakan masa adaptasi yang cukup keras. Saya tidak pernah mengatakan kepada teman-teman bahwa orangtua saya sederhana. Saya belajar dengan keras dan giat berdisiplin, ujar Prof. Sidabutar. Sikap-sikap inilah, yang kemudian mewarnai dalam kehidupan beliau selanjutnya. 

Tiga tahun setelah meraih dokter umum dari Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, pada tahun 1964 beliau menikah dengan Roswita br.Simanjuntak. dari hasil perkawinannya, pasangan ini dikaruniai dua putra dan satu putri. Yaitu, Dr. Hilda Apulana Ruswaty Sidabutar, Basana Mangihutta Sidabutar, S.H. yang ada pada bulan Agustus 1992 baru-baru ini mencapai gelar M.A. di USA, dan Wilmar Josua Sidabutar, S.E. (kini mengikuti pendidikan strata 2 di USA). 

Tetapi, di tengah kesibukannya sebagai dokter, guru besar ini seringkali mesti berjanji dulu untuk bertemu dengan anak-anaknya. Kesempatan berkumpul bersama isteri dan anak-anak merupakan hal yang langka baginya. Makan bersama-sama di restoran kadang-kadang hanya terjadi bila berpergian bersama keluar kota atau ke Singapura misalnya. Dalam kesempatan seperti itu anak-anak tidak jarang menertawai ayahnya. Karena membanggakan hal yang ada di Singapura, padahal di Jakarta jenis itu banyak. Masalahnya kalau di Jakarta, Sidabutar tidak sempat melepaskan pekerjaan, sehingga tidak melihat apa yang dibanggakannya.  Di Jakarta beginian banyak, Pak kata anak-anak. 

Di dalam pekerjaan, dokter ini memang berhasil. Bahkan ia mempunyai motto: tiada hari esok untuk menyelesaikan pekerjaan hari ini, sehingga pekerjaan tidak menumpuk . tapi, sayang, guru besar ini suka lupa, misalnya, memberikan ucapan selamat kepada anak-anaknya yang berhasil menempuh pendidikan. Saya tidak membuat pesta atau perayaan sedikitpun kepada anak-anak saya. Padahal mereka sudah lulus sarjana. Inilah salah satu kelemahan saya, tuturnya.

Suka Berangan-angan 

Profil Sidabutar sebagai dokter justru kadang dijadikan anak-anaknya sebagai bahan olok-lokkan. Sidabutar dijuluki tukang cukur rambut. Habis, Kalau saya berpakaian dinas dokter, saya tidak kelihatan seperti dokter, tetapi seperti tukang cukur rambut, katanya sambil tertawa. 

Meskipun Sidabutar sekarang telah menjadi dokter, namun cita-cita masa lalunya untuk menjadi astronom tidak terkubur begitu saja. Sering sebelum tidur, Sidabutar membaca buku-buku astronomi. Sifatnya yang suka berangan-berangan masih terus terpelihara dan dikembangkan. Hal ini terlihat buku computer, humor dan buku-buku fiksi. 

Sidabutar juga mengakui berangan-angan untuk masuk surge. Kalau saya masuk surge, permintaan saya, saya ingin tur ke alam semesta. Kedua, saya ingin menjadi penyanyi paduan suara tutur Prof. Sidabutar. Kok, Penyanyi? 

Bukan apa-apa. Ketika menjadi mahasiswa, saya di FK-UI, Jakarta, remaja Sidabutar pernah bergabung dalam suatu group band. Saya tidak pernah balajar musik. Tetapi, waktu masih mahasiswa, saya pernah mengikuti grup music band, katanya. Mereka tampil kalau ada acara-acara di FK-UI. Acaranya biasanya digabung dengan acara ilmiah social. 

Tetapi, zaman sekarang, menurut Prof. Sidabutar, kita tidak bisa hidup dengan angan-angan saja. Tetapi bagaimana mewujudkan angan-angan itu menjadi kenyataan. Anggaplah angan-angan itu sebagai pilihan. Nah, menurut Sidabutar, dalam hidup itu jangan hanya bersandarkan pada satu pilihan. Tetapi, banyak pilihan. Sampai sekarang pun, selalu saya katakan, tidak boleh hanya mempunyai satu pilihan. Tetapi, harus ada yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Di samping jadi astronom, dokter adalah pilihan pertama saya, tutur Prof. Sidabutar sembari tersenyum

sumber : http://www.pdpersi.co.id/content/news.php?catid=11&mid=5&nid=580

Subscribe to receive free email updates: