Sitor Situmorang



Sitor Situmorang lahir pada tanggal 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatra utara. Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan tradisional, di lingkungan tradisi sastra lisan yang berbahasa batak. Sejak kecil dia mendengarkan khotbah-khotbah dalam bahasa Injil, lewat terjemahan ke dalam bahasa Batak. Dia senang mendengarkan lagu-lagu rakyat. Dia kenyang dengan ide-ide puitis dan bentuk-bentuk sastra tanpa teori dalam berbagai upacara.


Puisi-puisi Sitor oleh banyak pengamat disebut sebagai tonggak yang mewakili perkembangan baru puisi Indonesia. Harry Aveling, Direktur Asian Studies School of Social Science La Trobe University, Australia, melihat bahwa sajak Sitor Situmorang banyak berisikan hasil renungan pengalaman religiusnya sebagai pemeluk agama Kristen. Dia menjuluki Sitor Situmorang "penyair agung" karena dia terus berkarya selama lebih dari 60 tahun dan menghasilkan lebih dari 600 sajak. Tidak hanya puisi, Sitor juga terlibat dalam dunia penerjemahan. Dia menerjemahkan karya John Wyndham, E. Du Perron, R. S. Maenocol, M. Nijhof. Beragam karya sastra Sitor yang sudah diterbitkan, antara lain Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Karya sastra lain, yang sudah diterbitkan, antara lain puisi Zaman Baru (1962), cerpen Pangeran (1963), dan esai Sastra Revolusioner (1965).Darah seninya lebih diasah saat dia mengenyam pendidikan di sekolah. Dia menyelesaikan SD dan SMP di daerah pedalaman Batak. Setelah dia pindah ke Jakarta pada tahun 1941, dia melanjutkan pendidikannya di berbagai sekolah HIS, MULO, AMS. Dia juga pernah memperdalam pengetahuan mengenai sinematografi di Los Angeles, Amerika serikat.

Esai Sastra Revolusioner inilah yang menjebloskan Sitor Situmorang di penjara Gang Tengah Salemba (1967-1975), Jakarta, tanpa melalui proses peradilan. Dia dimasukkan begitu saja ke dalam tahanan dengan tuduhan terlibat pemberontakan. Hingga keluar tahanan Sitor tak pernah tahu apa kesalahannya. Sitor tidak diizinkan masuk tahanan dengan membawa pena atau kertas. Namun demikian, walaupun berada dalam penjara Sitor tetap mencari akal untuk berkarya. Dia berhasil merilis dua karya sastra yang berhasil dia gubah selama dalam tahanan, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Kedua karya itu diluncurkan masih dalam status Sitor tidak bebas murni 100 persen sebab ketika kemudian dibebaskan, Sitor lagi-lagi harus menjalani tahanan rumah selama dua tahun.

Sitor akhirnya memilih menetap di luar negeri, terutama Kota Paris yang dianggapnya sebagai desa keduanya setelah Harianboho, Sumatra Utara. Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh tahun kemudian dia pensiun pada tahun 1991.

Sejak tahun 2001, Sitor Situmorang kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia mengikuti istrinya Barbara Brouwer yang kebetulan mendapat tugas di Jakarta. Walau dua pertiga dari usianya dihabiskannya di negeri orang, para sahabat, kolega, teman sejawat, seniman, sastrawan, dan budayawan lain tidak pernah menganggap Sitor sebagai "anak yang hilang".

Dirangkum dari:
__________. ""Kepala Suku" Sastrawan ‘45". Dalamhttp://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sitor-situmorang/index.shtml
__________. "Sitor Situmorang". Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sitor_Situmorang
__________. "Sitor Situmorang, Penyair Paling Produktif". Dalamhttp://www.ui.ac.id/id/news/pdf/2716.pdf

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sitor Situmorang"

Post a Comment

obatak.id tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE